Pojok Kebijakan kali ini merupakan program kolaborasi lanjutan antara Nalar Institute dan Pemimpin.id dengan tajuk “Pojok Kebijakan #2: Komunikasi Kebijakan Publik”. Pojok Kebijakan #2 diselenggarakan pada Sabtu, 27 Agustus 2022 di Jakarta Selatan. Pengampu agenda ini merupakan seorang ahli sekaligus praktisi kebijakan publik, yakni Yanuar Nugroho.
Peserta dalam serial Pojok Kebijakan #2 diajak untuk berdiskusi mengenai bagaimana memahami dan menerapkan komunikasi kebijakan yang berangkat dari kasus-kasus konkret atau riil, baik secara nasional maupun di lingkup profesional mereka. Tujuan dari terselenggaranya agenda Pojok Kebijakan #2 adalah peserta dapat memahami, menciptakan hingga mengimplementasikan komunikasi kebijakan yang efektif dan efisien di lingkungan kerja dan organisasi masing-masing.
Mengapa Komunikasi Kebijakan?

Keberhasilan kebijakan dipengaruhi juga oleh faktor komunikasi, tanpa adanya komunikasi yang baik maka kebijakan akan terhambat bahkan bermasalah. Bidang keilmuan komunikasi kebijakan publik dapat dikatakan baru di Indonesia, padahal realitanya menunjukan adanya urgensi untuk mengimplementasikan komunikasi kebijakan dengan tepat. Selain itu, komunikasi kebijakan tidak hanya menitikberatkan kepada persepsi publik tetapi justru pemahaman pelaksana kebijakan (birokrat). Oleh karena itu, diskusi mengenai komunikasi kebijakan ini amat penting bagi seluruh kalangan terutama bagi para pemangku kebijakan.
Forum dalam Pojok Kebijakan #2
Forum Pojok Kebijakan seri #2 berlangsung dengan partisipatoris. Pembicara dan moderator mengajak peserta untuk berdiskusi mengenai realitas yang sedang dihadapi di lingkungan pekerjaan mereka. Dalam diskusi tersebut terbagi atas dua termin pertanyaan. Termin pertama terkait dengan silo dan cara mengkomunikasikan substansi. Termin kedua membahas seputar komunikasi internal, eksternal, dan permintaan maaf kepada publik.
Diskusi pertama yaitu tentang silo dan cara mengkomunikasikan substansi. Silo merupakan fenomena yang perlu perlu dihadapi bukan dihindari. Cara menghadapi silo adalah dengan menyusun strategi salah satunya melalui strategi komunikasi dalam kebijakan. Strategi komunikasi kebijakan dapat digunakan untuk menyiasati silo, bukan menghapusnya.
Cara mengkomunikasikan substansi kepada pimpinan dapat menggunakan cara-cara yang bersifat informal (informality). Ketika berada dalam forum formal, orang cenderung memiliki batasan sehingga sulit terhubung. Cara informality digunakan untuk memecah batasan formal. Langkah ini diupayakan agar pesan yang substantif yang ingin disampaikan dapat diterima.
Topik diskusi yang kedua adalah seputar komunikasi internal, eksternal dan permintaan maaf kepada publik. Komunikasi internal birokrat masih sering terjebak dalam konsep self serving interest (kepentingan melayani diri sendiri).
Mandat birokrasi yang sesungguhnya adalah melayani publik, tetapi hingga kini, kinerja birokrasi masih terperangkap dalam self serving interest. Hal ini terkesan sederhana, tetapi dalam sosiologi tindakan tersebut terus direproduksi dalam struktur. Kesadaran para birokrat dibutuhkan agar dapat memutus rantai self serving interest.
Komunikasi eksternal menyangkut persoalan citra sebuah lembaga. Komunikasi eksternal mestinya berbasis substansi bukan jargon dan slogan. Terlepas dari pentingnya memperlihatkan eksistensi lembaga, pencitraan suatu lembaga harus bersentuhan dengan substansi. Dengan demikian, pesan branding harus mengandung informasi dan solusi ketimbang sekadar menjaga citra.
Selain itu, kegiatan public relation di lingkungan pemerintah harus dijalankan oleh orang yang ahli di bidang komunikasi publik. Dalam menjalankan perannya, staf ahli hubungan masyarakat ini tidak hanya bertugas menjaga citra pemerintah, tapi juga menyediakan ruang interaksi bagi masyarakat.
Topik ketiga yang menjadi bahasan dalam Pojok Kebijakan #2 adalah permintaan maaf kepada publik. Pemerintah kerap kali enggan meminta maaf kepada publik meski telah terbukti melakukan pelanggaran berat. Padahal permintaan maaf kepada publik adalah tindakan politik yang bermoral dan bermartabat. Permintaan maaf juga bisa menjadi langkah awal rekonsiliasi politik.