Tentang Satu Masa Depan Nusantara

Satu di antara warisan Presiden Jokowi yang paling banyak diperdebatkan adalah pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara –sebuah kota baru yang akan dibangun di Kabupaten Penajem Passer Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Perdebatan berkisar pada perlu-tidaknya dan urgensi pemindahan IKN beserta potensi masalahnya.

Mereka yang mengkritik–bahkan menolak—gagasan pemindahan IKN merujuk pada timing yang tak tepat, minimnya sumber daya untuk membangun, serta berbagai persoalan sosial-lingkungan mulai dari integrasi dan konflik dengan penduduk lokal dan masyarakat adat, status lahan, hingga potensi kerusakan lingkungan. Sebaliknya, mereka yang habis-habisan mendukung pemindahan IKN –khususnya pemerintahan Jokowi saat ini— mengajukan optimisme lahirnya pusat pertumbuhan ekonomi baru, serta ibu kota baru yang cerdas, modern, dan hijau. Kita yang paham hakikat realitas tentu mengerti bahwa keduanya salah kaprah melihat masa depan IKN.

Masa depan tidak pernah tunggal. Tak ada masa depan yang sepenuhnya suram, atau sepenuhnya cemerlang. Masa depan tidak diperkirakan atau diramalkan. Ia dibentuk–dengan kesadaran. Dan kesadaran inilah yang sekian lama tersisih oleh riuh-rendah dangkal antara yang pro dan kontra, yang kehilangan kedalaman melihat gagasan pemindahan IKN ini.

Pemindahan IKN semestinya punya pondasi kesadaran kunci bahwa kesempatan memindah atau membangun ibu kota baru adalah kesempatan untuk memperbaharui cara menata dan mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemindahan IKN bukan upaya membangun sebuah kota atau pusat pertumbuhan ekonomi baru semata. Melainkan, menunjukkan tekad kepada warga Indonesia dan dunia, bahwa republik ini mau sungguh berbenah.

Tanpa kesadaran ini, perdebatan tentang IKN tidak akan ada akhirnya. Inilah kesadaran yang mestinya menjadi arah membentuk masa depan IKN: sebagai upaya menjadi bangsa besar, membangun ibu kota baru menjadi kesempatan tidak hanya untuk membangun kota dan prasarana fisik, tapi membangun komitmen menata-ulang berbagai aspek pemerintahan dan kenegaraan.

Sebelum menelisik lebih jauh tata-ulang kenegaraan, setidaknya ada empat dimensi fundamental yang terkait langsung dengan masa depan IKN.

Pertama, secara fisik, pemindahan IKN memberi memberi kesempatan mengurangi beban Jakarta yang sudah terlalu besar sebagai pusat kegiatan–dari pemerintahan, bisnis, keuangan, perdagangan, sosial, hingga budaya. Kedua, pemindahan IKN adalah pengakuan sekaligus upaya koreksi atas pembangunan yang selama ini memang berpusat di Jawa dan belum merata. Ketiga, pembangunan IKN berarti peluang untuk melakukan perencanaan dan pembangunan ibu kota dari nol —mengoreksi segala kekurangan Jakarta dan tidak mengulangi kesalahan pengembangannya yang problematik dari masa ke masa. Terakhir, Nusantara tak boleh menjadi sekedar showcase, tapi mesti jadi lokomotif transformasi tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi negeri. Singkatnya, pemindahan IKN harus menjadi momentum penataan ulang dan pembaruan pengelolaan negeri ini.

Jantung setiap pembaruan adalah manusia. Pembaruan pengelolaan pemerintahan menuntut pembaruan manusia pelaku tata-kelola kenegaraan: Aparatur Sipil Negara (ASN). Pemindahan IKN mesti menjadi momentum strategis untuk pembaruan talenta ASN, dan bukan sekedar urusan pemindahan pegawai pemerintahan.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) memperkirakan antara 118.000 hingga 180.000 ASN akan pindah ke IKN (Kompas, 26/2/22). Tapi, cukup banyak ASN tidak berminat, membangkang, atau mengajukan mutasi untuk menghindari pemindahan dirinya ke ibu kota baru (Kompas, 1/3/22). Mereka tidak bisa disalahkan. Karena selain

skema pemindahan yang belum diketahui, mereka tidak tahu peta jalan dan cetak biru pemindahan ASN ke Nusantara yang berdampak pada nasib mereka dan keluarganya.

Hampir seluruh wacana kebijakan pemindahan IKN didominasi oleh rencana pembangunan fisik ibu kota, dan nyaris tidak ada ruang membicarakan soal manusianya. Komunikasi kebijakan pemindahan IKN, khususnya yang terkait dengan ASN, tidak berjalan optimal. Padahal, tatakelola ASN dalam pemindahan IKN ini menjadi pintu masuk strategis untuk pembenahan tata pemerintahan secara keseluruhan.

Tuntutan kualitas sumber daya manusia (SDM) di ibu kota baru dan di Indonesia baru tak lagi memadai jika meneruskan pola lama di ibu kota lama dan Indonesia lama: dominasi ASN berusia tak lagi muda dengan kualitas relatif rendah dalam struktur birokrasi dan terbatasnya talenta ASN muda dalam posisi strategis setiap lini.

Itu mengapa memindahkan IKN adalah sekaligus momentum menata manajemen talenta ASN kita. Pemindahan ASN ke IKN bukan hanya didorong lewat remunerasi dan tunjangan, tetapi kesempatan akselerasi karier dan kenaikan pangkat. Di Singapura, mayoritas PNS meraih posisi Permanent Secretary (setara Direktur Jenderal, Deputi, atau Pejabat Eselon I.a di Indonesia) saat berusia 45 tahun. Kita bisa memberikan insentif percepatan kenaikan pangkat bagi ASN muda yang akan mengawaki Nusantara dan Indonesia baru: bisa meraih eselon I saat berusia 45 tahun.

Jika akselerasi karier dan kenaikan pangkat sebagai bagian dari manajemen talenta ASN ini bisa diwujudkan, kinerja pemerintahan akan membaik dan pembaruan akan terjadi. Berusia 45 tahun saat menjadi eselon I, para pejabat ini akan punya waktu hingga 15 tahun sebelum pensiun untuk bekerja optimal. Keberlanjutan kebijakan akan terjaga karena rentang posisi dan masa jabatan cukup untuk melakukan berbagai terobosan untuk memajukan negeri ini. Ini juga menjawab masalah banyaknya kebijakan yang saat ini mandek dan bussines as usual karena posisi strategis eselon I dan II diisi mayoritas ASN yang berusia di atas 50, bahkan 55 tahun dan akibatnya tak cukup waktu untuk melakukan terobosan karena terburu tergulung usia pensiun.

Pada akhirnya, memindah IKN bukan hanya perkara membangun gedung dan istana di lokasi baru. Memindah IKN adalah kesempatan menata ulang seluruh aspek kenegaraan dan pemerintahan–termasuk dan khususnya pembaruan sumber daya pembangunan manusia, yakni aparaturnya. Dengan kesadaran ini, debat soal IKN seharusnya bukan lagi tentang setuju-tidaknya apalagi politisasinya, tapi bagaimana membentuk masa depan Nusantara dan masa depan Indonesia.

Mereka yang tidak setuju dan ingin membatalkan pemindahan IKN sebenarnya sama bersalahnya dengan mereka yang buru-buru mewujudkannya tanpa mau menangani secara mendasar kompleksitas tantangannya dan gagal melihat peluang yang dibawanya. Karena, yang mereka korbankan sebenarnya adalah sebuah masa depan negeri ini yang sedang punya kesempatan untuk menata dan membarui diri.

BAGIKAN

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *